JABARKU – Kasus yang melibatkan konten kreator asal Sukabumi Mang Kifly dan anggota DPRD Kabupaten Sukabumi, Dilla Nurdian, terus menjadi sorotan. Kifly dilaporkan ke Polda Jawa Barat atas dugaan pencemaran nama baik setelah mengunggah video yang menyebut nama Dilla terkait curhatan seorang warga yang mengaku menjadi korban penipuan.
Praktisi hukum dan politik, Padlilah, menilai bahwa secara hukum, laporan yang dilayangkan Dilla tetap sah. Namun, dari perspektif etika publik, langkah tersebut memunculkan pertanyaan: apakah tepat melanjutkan laporan ke ranah pidana ketika pihak terlapor sudah mengakui kesalahan, meminta maaf, dan menghapus konten hanya satu jam setelah video tersebut viral?
Menurut Padlilah, laporan ini bersifat delik aduan absolut, yang artinya proses hukum bisa dihentikan jika pelapor mencabut laporan. Kepolisian juga memiliki pedoman melalui Perpol No. 8 Tahun 2021 yang mendorong penyelesaian sengketa seperti ini melalui mediasi penal atau restorative justice.
“Permintaan maaf dan penghapusan konten seharusnya menjadi dasar penyelesaian yang lebih mengedepankan dialog dan edukasi kepada masyarakat. Ketika tetap dipaksakan ke jalur pidana, publik bisa menilai pejabat alergi kritik,” ujar dosen Universitas Nusa Putra ini, Senin (15/9/2025).
Padlilah menambahkan, sebagai pejabat publik, idealnya ada klarifikasi terbuka agar tidak memunculkan kesan menutup-nutupi. “Pejabat publik punya tanggung jawab moral yang lebih besar. Jika menanggapi kritik dengan laporan pidana, ini justru bisa memperburuk hubungan dengan masyarakat,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUU-VI/2008 menyebutkan, delik pencemaran nama baik tidak boleh digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat, terutama dalam isu yang berkaitan dengan kepentingan publik.
“Kalau kritik dan curhatan warga langsung dibalas laporan, ini bisa menjadi preseden buruk bagi demokrasi lokal. Apalagi Mang Kifly tidak bermaksud menghina, melainkan hanya menyampaikan keluhan yang diterimanya,” pungkas Padlilah.