SUKABUMI – Beluk, salah satu kesenian vokal tradisional khas Sunda, kini berada di ambang kepunahan. Dahulu, lantunan suara lantang dan melengking penuh getar ini kerap menggema di pelosok Tatar Sunda. Namun kini, gema beluk semakin jarang terdengar, tergeser oleh hiruk-pikuk kehidupan modern dan dominasi budaya populer.
Padahal, beluk bukan sekadar hiburan. Ia adalah warisan budaya lisan yang sarat nilai sosial, spiritual, dan filosofis. Dalam tradisi Sunda, beluk sering dilantunkan pada upacara adat, ritual keagamaan, kegiatan pertanian, hingga hajatan masyarakat. Melalui vokal khasnya, beluk menjadi medium komunikasi antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Memasuki era modern, fungsi beluk perlahan bergeser. Seni ini tak lagi menjadi bagian penting dalam ritual masyarakat, melainkan hanya tampil sebagai hiburan sesekali. Generasi muda pun kurang tertarik mempelajarinya, karena lebih akrab dengan musik modern dan hiburan digital yang lebih praktis dan instan.
Baca Juga: Kampung Wakaf Jayaraksa Diresmikan, Warga Kompak Wujudkan Gerakan Kolektif
Minimnya perhatian dari pemerintah serta kurangnya dukungan lembaga kebudayaan memperparah kondisi ini. Program pelatihan, dokumentasi, dan regenerasi pelaku seni tradisi masih sangat terbatas. Akibatnya, keberlanjutan beluk kian terancam.
Meski begitu, beberapa seniman mencoba melakukan inovasi dengan menggabungkan beluk dan alat musik modern. Upaya ini menjadi angin segar agar beluk tetap relevan di mata masyarakat masa kini. Walau tampil dalam format berbeda, nilai filosofis dan kekuatan spiritual beluk tetap menjadi daya tarik tersendiri.
Di wilayah Pajampangan, Kabupaten Sukabumi, beluk pernah mencapai masa kejayaannya pada era 1970-an. Saat itu, beluk menjadi kesenian yang hampir selalu hadir di setiap acara keluarga, terutama di kalangan masyarakat berada. Hajatan, syukuran, nadar, hingga khitanan anak tak lengkap tanpa lantunan beluk yang menggema hingga larut malam.
Baca Juga: Pengendara Keluhkan Barier di Simpang Gunung Butak, Dinas Diminta Segera Bertindak
Nama Kanta, maestro beluk asal Kecamatan Surade, begitu melegenda. Suaranya yang kuat, melengking, dan penuh penghayatan mampu memukau pendengar dan menciptakan suasana magis dalam setiap penampilan. Ia menjadi ikon beluk di masanya.
Namun seiring waktu, cahaya beluk meredup. Setelah Mang Kanta wafat, hampir tidak ada penerus yang mampu melanjutkan tradisi dengan kualitas serupa. Beluk pun perlahan menghilang dari kehidupan masyarakat.
Beluk adalah napas budaya dan identitas masyarakat Sunda. Jika dibiarkan punah, maka lenyap pula salah satu jejak kearifan lokal yang berharga. Karena itu, pelestarian beluk harus menjadi tanggung jawab bersama.
Baca Juga: Wabup Andreas Resmikan Program Layanan Primer Terpadu di Puskesmas Kadudampit
Beluk bukan sekadar nyanyian. Ia adalah simbol harmoni, kesabaran, dan spiritualitas yang mencerminkan karakter masyarakat Sunda. Dalam setiap lantunannya, tersimpan pesan tentang hubungan manusia dengan alam dan Sang Pencipta.
Dengan sinergi antara pemerintah, seniman, akademisi, komunitas, dan masyarakat, beluk dapat kembali menemukan tempatnya. Kesenian ini bisa hidup berdampingan dengan budaya modern, selama jati dirinya dijaga.
Karena menjaga beluk berarti menjaga suara sejarah. Dan selama suara beluk masih bisa terdengar walau hanya sayup warisan budaya Sunda akan tetap hidup untuk menyapa generasi masa depan.