TASIKMALAYA – Polemik konser musisi Hindia di Kota Tasikmalaya terus menuai reaksi dari berbagai pihak. Kali ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Tasikmalaya turut angkat bicara, menyuarakan kritik tajam terhadap kebijakan daerah yang dianggap tidak ramah terhadap ruang ekspresi dan budaya masyarakat.
Encep Gunawan Ridwan, salah satu pengurus HMI Cabang Tasikmalaya, menyatakan bahwa kontroversi konser tersebut mencerminkan bagaimana norma-norma sosial dan agama diinterpretasikan dalam kebijakan publik, khususnya dalam konteks daerah dengan identitas religius yang kuat seperti Tasikmalaya.
BACA JUGA : PMII Tasikmalaya Soroti Perda Tata Nilai, Desak DPRD Bertanggung Jawab atas Polemik Konser Musik
“Ya, ini sangat mempengaruhi ruang publik, terutama di daerah yang mengedepankan identitas religius. Peristiwa ini mengangkat kembali pertanyaan krusial tentang peran dan efektivitas Perda Nomor 7 Tahun 2014 tentang Tata Nilai Kehidupan Masyarakat yang Religius,” ujar Encep saat dikonfirmasi, Senin (14/7/2025).
Menurutnya, perda yang semestinya bertujuan membangun tatanan sosial berbasis nilai moral dan spiritual itu justru mengandung celah problematis. Ia menyoroti lemahnya kejelasan definisi dalam perda, khususnya pada istilah seperti “nilai religius”, “kesopanan”, dan “kerukunan”.
“Ketidakjelasan ini memberikan ruang interpretasi yang sangat luas, sehingga berpotensi digunakan sebagai alat pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan aktivitas budaya masyarakat,” lanjut Encep.
Ia menilai, peristiwa larangan konser seperti yang terjadi pada Hindia menandakan kegagalan dalam merumuskan regulasi yang inklusif dan menghormati prinsip-prinsip hak asasi manusia. Ketidaktegasan batas istilah-istilah moral dalam perda, menurutnya, bisa dimonopoli oleh kelompok mayoritas tertentu yang mendefinisikan sendiri standar “kesopanan” atau “kerukunan” menurut versi mereka.
“Akibatnya, masyarakat berada dalam ketidakpastian hukum, dan pemerintah daerah kehilangan pijakan dalam menjaga keseimbangan antara nilai lokal dan hak konstitusional warga negara,” tegasnya.
Aktivis muda HMI itu juga mendorong agar dilakukan evaluasi mendalam terhadap substansi maupun implementasi dari Perda Nomor 7 Tahun 2014. Ia menilai bahwa dalam penerapannya, perda ini cenderung tidak membedakan antara norma religius universal dan norma keagamaan yang bersifat spesifik.
BACA JUGA : Izin Konser Hindia Belum Keluar, Kapolres: Keputusan Akhir di Tangan Polda
“Sebagai contoh, Pasal 6 perda ini mengatur kewajiban setiap Muslim untuk meningkatkan keimanan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, namun tidak mempertimbangkan realitas sosial yang plural di tengah masyarakat,” jelas Encep.
Ia juga menyoroti Pasal 2 dan Pasal 7 perda tersebut yang menggunakan istilah “kesopanan” dan “kerukunan” tanpa memberikan panduan yang jelas atau indikator konkret. Hal ini, menurutnya, berpotensi menjadi dalih untuk membatasi kegiatan-kegiatan publik yang bersifat ekspresif, termasuk seni dan budaya.
“Dari sini muncul pertanyaan besar: seberapa efektif, sah, dan adilkah perda ini jika dilihat dari perspektif negara hukum dan konstitusi?” katanya mempertanyakan.
Sebagai penutup, Encep menegaskan bahwa perda yang pada awalnya dimaksudkan untuk memperkuat karakter masyarakat justru bisa berubah menjadi alat yang bersifat diskriminatif, terutama terhadap kelompok minoritas dan komunitas budaya tertentu.
“Karenanya, kami mendorong adanya evaluasi akademis terhadap isi perda, dampak sosialnya, serta relevansinya dengan nilai-nilai dasar Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip non-diskriminasi yang dijamin oleh UUD 1945,” pungkasnya. (rzm)
<p>The post Konser Hindia Dilarang, HMI Tasikmalaya: Pemerintah Gagal Seimbangkan Nilai Lokal dan Hak Konstitusional first appeared on Tasikmalaya Ku.</p>