Oleh: Dr. Padlilah, S.H., M.H.
ABSTRAK
Eksekusi putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap merupakan tahap akhir dari proses penegakan hukum pidana. Namun dalam praktik, terdapat kasus-kasus di mana putusan tidak segera dilaksanakan, sebagaimana terjadi dalam kasus Silfester Matutina. Terpidana divonis pidana penjara 1 tahun 6 bulan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2019, tetapi hingga tahun 2025 belum dieksekusi. Tulisan ini mengkaji problematika hukum, hambatan yuridis dan non-yuridis, serta implikasi dari tidak dilaksanakannya eksekusi pidana tersebut, sekaligus memberikan tawaran solusi untuk menegakkan asas kepastian dan persamaan di hadapan hukum.
Kata Kunci: Eksekusi Pidana, Putusan Inkracht, Kejaksaan, Equality Before the Law
1. PENDAHULUAN
Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht) memiliki sifat final dan mengikat serta harus segera dilaksanakan. Eksekusi atas putusan tersebut merupakan tanggung jawab kejaksaan sebagai lembaga eksekutor. Dalam kasus Silfester Matutina, Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 287 K/Pid/2019 menjatuhkan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara atas kasus pencemaran nama baik. Namun, eksekusi baru diproses pada tahun 2025 setelah kritik publik yang masif.
Fenomena ini menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum dan mengancam asas persamaan di depan hukum. Tulisan ini akan mengkaji aspek hukum dari lambannya eksekusi, faktor penyebabnya, serta implikasi sistemiknya terhadap kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
2. RUMUSAN MASALAH
1. Apa dasar hukum pelaksanaan eksekusi putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap?
2. Apa penyebab tidak dilaksanakannya putusan Mahkamah Agung terhadap Silfester Matutina?
3. Apa implikasi yuridis dari tidak dilaksanakannya putusan tersebut?
4. Bagaimana solusi untuk mencegah kasus serupa di masa depan?
3. METODOLOGI PENELITIAN
Tulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan studi kasus. Sumber data diperoleh dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan berita media resmi. Selain itu, pendekatan konseptual digunakan untuk menelaah asas-asas hukum pidana, asas kepastian hukum, dan asas persamaan di hadapan hukum.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Dasar Hukum Eksekusi Putusan Pidana
Eksekusi putusan pidana diatur dalam Pasal 270 KUHAP yang menyatakan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan oleh jaksa berdasarkan salinan putusan dari pengadilan. Hal ini diperkuat oleh Pasal 1 angka 1 dan 2 KUHAP yang menyatakan bahwa putusan pengadilan memiliki kekuatan hukum tetap setelah tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Dalam praktik, Mahkamah Agung telah menerbitkan Surat Edaran MA (SEMA) dan Yurisprudensi yang menegaskan bahwa jaksa wajib mengeksekusi putusan pidana yang telah inkracht. Putusan MA bersifat final, mengikat, dan wajib dilaksanakan demi menegakkan supremasi hukum.
4.2 Kronologi dan Analisis Kasus Silfester Matutina
Silfester Matutina, aktivis dan pengusaha, dijatuhi pidana 1 tahun 6 bulan oleh Mahkamah Agung pada 20 Mei 2019 atas tindak pidana pencemaran nama baik terhadap keluarga Jusuf Kalla. Namun hingga pertengahan 2025, putusan tersebut belum dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Publik mempertanyakan hal ini karena:
Putusan telah berkekuatan hukum tetap.
Tidak terdapat bukti permohonan grasi atau peninjauan kembali.
Tidak ada kendala hukum lain yang menghalangi eksekusi.
Kejaksaan beralasan belum menerima salinan lengkap putusan, meskipun telah memiliki petikan putusan. Hal ini memunculkan tafsir bahwa secara administratif, belum dapat dilaksanakan eksekusi. Namun dalam praktik, banyak kasus lain yang dapat dieksekusi hanya dengan petikan.
4.3 Implikasi Yuridis dan Sosiologis
1. Pelanggaran Asas Equality Before the Law Tidak dilaksanakannya eksekusi menimbulkan dugaan adanya diskriminasi hukum. Di sisi lain, terpidana dari kalangan masyarakat biasa lebih cepat dieksekusi.
2. Pelanggaran Asas Kepastian Hukum Penundaan eksekusi menyebabkan ketidakpastian hukum dan ketidakjelasan status hukum terpidana.
3. Turunnya Wibawa Institusi Penegak Hukum Kejaksaan sebagai eksekutor dipertanyakan kredibilitasnya dalam menegakkan hukum secara adil.
4. Potensi Obstruction of Justice Jika terbukti ada pihak yang secara sengaja menunda atau menghalangi eksekusi, dapat dikenakan sanksi pidana atau etik sesuai hukum positif.
4.4 Solusi dan Rekomendasi
1. Digitalisasi dan percepatan minutasi putusan pengadilan oleh Mahkamah Agung agar salinan segera sampai ke Kejaksaan.
2. Revisi internal pedoman Kejaksaan agar eksekusi bisa dilakukan berdasarkan petikan, terutama bila tidak ada upaya hukum lanjutan.
3. Pengawasan oleh Komisi Kejaksaan dan Komisi Yudisial terhadap kelalaian dalam pelaksanaan eksekusi.
4. Penerapan sanksi administratif atau etik terhadap pejabat yang lalai atau menyalahgunakan kewenangan dalam proses eksekusi.
5. KESIMPULAN
Kasus Silfester Matutina merupakan contoh nyata dari lemahnya pelaksanaan eksekusi pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Tidak adanya eksekusi selama lebih dari 6 tahun mengindikasikan pelanggaran terhadap asas kepastian hukum dan persamaan di depan hukum. Negara melalui kejaksaan wajib menegakkan putusan pengadilan tanpa diskriminasi dan harus menjamin bahwa tidak ada satu pun warga negara yang kebal hukum.
Eksekusi pidana bukanlah sekadar pelaksanaan hukuman, tetapi juga representasi konkret dari keadilan negara terhadap masyarakat. Reformasi administratif dan peningkatan akuntabilitas dalam proses eksekusi sangat diperlukan agar kepercayaan publik terhadap sistem peradilan tetap terjaga.
The post Problematika Tidak Dieksekusinya Putusan Pidana yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap: Studi Kasus Silfester Matutina first appeared on Sukabumi Ku.