“Signifikansi Pembuktian Unsur Mens Rea dan Actus Reus dalam Pertanggungjawaban Pidana Anak: Studi Kasus Luka Akibat Tali Layangan”

Oleh: Dr. Padlilah, S.H., M.H.

Abstrak
Unsur mens rea (sikap batin/niat) dan actus reus (perbuatan fisik) merupakan komponen esensial dalam menentukan pertanggungjawaban pidana. Artikel ini membahas penerapan kedua unsur tersebut dalam kasus konkret: seorang anak SMP yang bermain layangan hingga tali layangannya melukai anak berusia 5 tahun. Fokus utama jurnal ini adalah menelaah bagaimana hukum pidana Indonesia—khususnya berdasarkan KUHP Nasional 2023—memandang peristiwa yang terjadi karena kealpaan anak. Artikel ini juga mengkaji pendekatan hukum terhadap pelaku anak yang belum dewasa dan bagaimana pertanggungjawaban pidana dapat diarahkan pada orang tua atau wali dalam situasi tertentu.Kata Kunci
Mens rea, actus reus, anak, kealpaan, pertanggungjawaban pidana, Pasal 36 KUHP 2023.

Pendahuluan
Hukum pidana modern mensyaratkan dua elemen utama agar seseorang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana: actus reus (perbuatan) dan mens rea (niat atau kesalahan batin). Tanpa adanya niat atau kesalahan, seseorang tidak dapat dikenai sanksi pidana, kecuali jika undang-undang menentukan lain. Hal ini diperkuat oleh ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP (selanjutnya disebut KUHP Nasional) yang menegaskan bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat dikenakan atas perbuatan yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan.

Permasalahan
1. Bagaimana pembuktian mens rea dan actus reus dalam tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur?
2. Apakah unsur kealpaan dalam Pasal 360 KUHP dapat diterapkan dalam kasus luka akibat tali layangan oleh anak SMP?
3. Bagaimana pertanggungjawaban hukum terhadap anak yang belum mencapai usia pertanggungjawaban pidana?

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan studi kasus. Sumber hukum terdiri dari peraturan perundang-undangan, doktrin, serta studi kasus lapangan yang dianalisis secara kualitatif.

Pembahasan
1. Unsur Mens Rea dan Actus Reus dalam KUHP Nasional
DalaM KUHP Nasional, Pasal 36 secara eksplisit menyebut bahwa perbuatan pidana harus disertai unsur kesengajaan atau kealpaan. Dalam konteks kasus anak SMP yang bermain layangan, perbuatan melepaskan atau memainkan layangan dengan tali yang berpotensi membahayakan di ruang publik dapat dikategorikan sebagai actus reus. Namun pertanyaannya, apakah terdapat mens rea?
Jika tidak ditemukan adanya niat untuk melukai, maka pembuktian diarahkan pada culpa atau kealpaan. Berdasarkan Pasal 36 ayat (2) KUHP Nasional, perbuatan karena kealpaan hanya dapat dikenai pidana jika ditentukan oleh undang-undang, misalnya Pasal 360 KUHP.

2. Aplikasi Pasal 360 KUHP
Pasal 360 KUHP menyatakan:

“Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka berat, dihukum penjara paling lama lima tahun…”
Bermain layangan dengan tali yang membahayakan di ruang publik menunjukkan bentuk kelalaian (kurang hati-hati). Meskipun dilakukan oleh anak, unsur kealpaan tetap dapat dikaji melalui norma kehati-hatian yang berlaku umum.

3. Pertanggungjawaban Pidana Anak
Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), anak yang berhadapan dengan hukum diperlakukan secara khusus. Jika pelaku adalah anak di bawah usia 14 tahun, maka tindakan hukum berupa diversi atau pembinaan sosial lebih diutamakan. Selain itu, tanggung jawab dapat diarahkan kepada orang tua atau wali yang lalai dalam pengawasan.
Dalam konteks kasus ini, apabila terbukti unsur kealpaan terpenuhi, maka:
Anak dapat dikenai proses hukum sesuai dengan UU SPPA, atau
Orang tua dapat dimintai tanggung jawab moral dan perdata atas kelalaian pengawasan.

Kesimpulan
Kasus tali layangan yang melukai anak usia 5 tahun merupakan gambaran nyata bagaimana pentingnya pembuktian unsur mens rea dan actus reus dalam hukum pidana. Walaupun tidak terdapat niat jahat (dolus), perbuatan tersebut dapat dikualifikasi sebagai kealpaan (culpa) sebagaimana dimaksud Pasal 360 KUHP. Dalam hal pelakunya adalah anak, pendekatan restoratif dan perlindungan anak wajib dikedepankan. Namun, pertanggungjawaban tidak semata-mata hilang, melainkan dialihkan atau dimitigasi melalui mekanisme hukum yang humanistik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *