SUKABUMI — Kenaikan tarif pendaftaran di RSUD R. Syamsudin, SH atau RS Bunut Kota Sukabumi memantik kritik tajam dari anggota DPRD Kota Sukabumi. Pasalnya, kebijakan tersebut diberlakukan tanpa sosialisasi yang memadai, membuat masyarakat kaget dan kebingungan saat datang berobat.
Anggota DPRD Kota Sukabumi, Inggu Sudeni, menyoroti lemahnya peran Dinas Kesehatan (Dinkes) dan pihak rumah sakit dalam mensosialisasikan penerapan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), yang menjadi dasar kenaikan tarif poliklinik dari Rp40.000 menjadi Rp65.000 sejak April 2025.
“Perda sudah diketuk palu sejak Desember lalu, tapi sosialisasi ke masyarakat nyaris tidak ada. Akibatnya, warga datang ke rumah sakit malah kaget dengan tarif baru,” tegas Inggu dengan nada kecewa.
Baca Juga: Bupati Sukabumi Harap FKUB Jadi Garda Terdepan Jaga Kerukunan dan Toleransi
Menurutnya, tanggung jawab utama untuk memberi pemahaman kepada publik berada di tangan pemerintah, bukan masyarakat yang harus mencari tahu sendiri.
“Kalau memang DPRD tidak bisa melakukan sosialisasi peraturan (sosper), seharusnya pemerintah yang turun tangan. Bahkan ketika Wali Kota sering turun ke RT/RW, momen itu bisa dipakai untuk menjelaskan kebijakan baru, bukan sekadar seremonial,” ujarnya.
Inggu juga menyoroti ironi di balik kebijakan ini. Di satu sisi, pemerintah mengklaim hampir 100 persen masyarakat Kota Sukabumi sudah tercover BPJS Kesehatan (UHC), namun di sisi lain, kenaikan tarif justru menekan warga yang belum memiliki BPJS.
Baca Juga: Breaking News: Polisi Ringkus Pelaku Pembacokan Pelajar SMK di Cibadak Sukabumi
“Pasien BPJS mungkin aman, tapi bagaimana dengan masyarakat yang tidak terdaftar? Mereka tetap harus bayar. Ini soal keadilan dan empati,” tambahnya.
Ia menilai minimnya sosialisasi memperlihatkan lemahnya koordinasi antar instansi. Dinas Kesehatan dan RSUD dianggap lalai menjalankan fungsi komunikasi publik.
“Rumah sakit besar seperti RSUD Bunut seharusnya bisa memanfaatkan media sosial, papan elektronik, atau bahkan media massa lokal untuk menyampaikan informasi dengan jelas. Bukan malah diam dan membiarkan masyarakat panik di loket pendaftaran,” kritiknya tajam.
Baca Juga: RSUD Naikkan Tarif, PMII: Pemerintah Kota Sukabumi Kehilangan Nurani Sosial
Inggu menegaskan, kebijakan publik tidak boleh lahir di ruang sunyi dan tiba-tiba diterapkan tanpa kesiapan informasi di masyarakat.
“Kalau pemerintah daerah tidak mampu melakukan sosialisasi, kami di DPRD siap membantu. Fasilitasi saja, jangan biarkan rakyat jadi korban kebijakan yang tidak dikomunikasikan,” tegasnya.
Kenaikan tarif yang mencapai 62,5 persen ini memang terlihat kecil bagi sebagian kalangan, namun bagi warga berpenghasilan rendah, angka itu cukup berat, terlebih bagi pasien rawat jalan yang rutin berobat setiap bulan.
Kritik DPRD ini menjadi sinyal kuat agar Pemerintah Kota Sukabumi memperbaiki tata kelola komunikasi publik. Sebab, kebijakan yang menyangkut biaya kesehatan rakyat seharusnya tidak hanya legal secara administratif, tapi juga etis dan manusiawi dalam pelaksanaannya. (Ky)