SUKABUMI — Di balik aksi bersih sampah nasional yang digelar di kawasan Jembatan Merah, Baros, Jumat (24/10/2025), Wali Kota Sukabumi H. Ayep Zaki menyoroti persoalan serius yang selama ini membebani kota: lonjakan timbunan sampah yang mencapai 180 ton per hari.
Didampingi Wakil Wali Kota Bobby Maulana, Ayep menegaskan bahwa masalah sampah di Sukabumi sudah masuk tahap krusial dan tidak bisa diselesaikan hanya dengan kegiatan simbolik. Ia menilai diperlukan perubahan sistemik, terutama dengan mendorong pengelolaan sampah berbasis RW (Rukun Warga) agar masalah dapat ditangani dari sumbernya.
“Sampah rumah tangga harus selesai di lingkungan masing-masing. Jangan semua dibawa ke TPS. Kalau tidak, TPA akan kewalahan,” ujar Ayep Zaki saat ditemui di lokasi kegiatan.
Menurutnya, sistem desentralisasi ini menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada Tempat Pembuangan Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Selain itu, Pemkot juga menyiapkan sayembara pengelolaan sampah tingkat RW guna mendorong kreativitas warga dalam mengubah sampah menjadi sumber daya ekonomi baru.
Langkah ini bukan hanya soal kebersihan, tetapi juga upaya menata ulang pola pembiayaan pengelolaan sampah yang hingga kini belum ideal.
“Retribusi sampah kita baru sekitar Rp1,1 miliar per tahun, sementara anggaran Dinas Lingkungan Hidup mencapai Rp30 miliar. Ini timpang, dan tidak bisa dibiarkan,” tegasnya.
Kondisi itu menunjukkan bahwa beban pengelolaan masih jauh lebih besar dibanding kontribusi masyarakat melalui retribusi. Karena itu, kata Ayep, edukasi dan partisipasi warga menjadi kunci utama dalam mewujudkan sistem yang lebih proporsional dan berkelanjutan.
Dalam dua tahun ke depan, pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama investor Danantara akan menyediakan alat modern pengolahan sampah untuk memperkuat sistem pengelolaan di daerah.
Kota Sukabumi sendiri kini masuk ke dalam zona wilayah pengelolaan sampah Bogor, yang memungkinkan kolaborasi antar daerah di Jawa Barat untuk menciptakan efisiensi pengangkutan dan pengolahan.
Namun, Ayep mengingatkan, sistem itu tidak akan efektif tanpa pengelolaan awal di tingkat lokal.
Sebagai langkah awal, Pemkot akan memberikan mesin pencacah plastik kepada kelurahan yang berhasil menjalankan pengelolaan mandiri. Kelurahan Subangjaya ditunjuk sebagai proyek percontohan (pilot project) yang akan menjadi model bagi wilayah lain.
“Kita tidak bisa hanya mengandalkan kegiatan bersih-bersih tahunan. Solusi permanen harus dimulai dari masyarakat. Pemerintah hanya memfasilitasi dan memperkuat,” kata Ayep.
Meski langkah-langkah awal sudah dimulai, Pemkot Sukabumi tetap menghadapi tantangan besar: menekan volume sampah dan meningkatkan kepatuhan warga membayar retribusi.
Selain itu, biaya angkut ke wilayah Bogor juga perlu dikaji ulang agar efisien dan tidak menambah beban anggaran daerah.
Direktur Penanganan Sampah KLHK yang hadir dalam acara tersebut mengapresiasi langkah cepat Pemkot Sukabumi yang tak sekadar berhenti pada aksi simbolik, tetapi bergerak ke arah perubahan sistem pengelolaan yang modern dan berbasis partisipasi masyarakat.
“Ini contoh daerah yang tidak hanya menjalankan instruksi pusat, tetapi juga menyesuaikannya dengan kondisi lokal,” ujarnya.
Dengan konsep kolaborasi, desentralisasi, dan inovasi teknologi, Pemerintah Kota Sukabumi berharap mampu keluar dari krisis sampah yang selama ini membayangi, dan benar-benar menuju visi “Sukabumi Maju, Bersih, dan Berkelanjutan.” (ky)




















