TASIKMALAYA – Di sebuah rumah petak di Gang Saguling Panjang, Kelurahan Cilamajang, Kecamatan Kawalu, Kota Tasikmalaya, seorang lansia bernama Mak Emin (63) hidup dalam kondisi memprihatinkan. Di usia senjanya, ia memikul peran ganda sebagai pengasuh sekaligus penopang hidup dua cucunya yang yatim piatu.
Setiap hari, Mak Emin bekerja sebagai buruh cuci dari rumah ke rumah. Upah yang diterimanya kerap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, baik untuk dirinya maupun cucunya. Namun, perempuan lanjut usia itu tetap bekerja, meski fisiknya mulai rapuh.
“Mak teu gaduh nu nyorang. Ieu cucu-cucu kedah diurus. Sering teu gaduh sangu, tapi kumaha deui,” ujarnya dengan suara terbata menahan tangis, Senin (1/12/2025).
Di balik keterbatasan tersebut, Mak Emin mengaku tidak pernah tercatat sebagai penerima bantuan pemerintah. Ia dinilai tidak layak menerima bantuan sosial karena masuk kategori “desil di atas lima”.
Padahal, rumah yang dijadikan dasar penilaian tersebut bukanlah aset kemakmuran. Bangunan warisan almarhum suaminya itu belum selesai, berdinding seadanya, dan dihuni empat kepala keluarga yang juga hidup serba kekurangan.

“Rumah ini belum jadi. Tapi kata orang pemerintah, karena Mak punya rumah, Mak dianggap mampu. Padahal sering kesulitan beli beras,” ucapnya lirih.
AMS Beri Bantuan, Air Mata Mak Emin Tumpah
Kondisi Mak Emin mendapat perhatian Angkatan Muda Siliwangi (AMS) Distrik Kota Tasikmalaya. Mereka memberikan paket sembako serta santunan tunai untuk kebutuhan cucu Mak Emin.
Saat menerima bantuan, Mak Emin tak mampu menahan air mata. Dua cucunya juga tampak memeluk amplop santunan yang diberikan, seolah menemukan harapan baru di tengah kesulitan.
Pengurus AMS Distrik Kota Tasikmalaya, Rian Sutisna, S.H., menilai kasus Mak Emin merupakan potret tidak akuratnya basis data kesejahteraan sosial pemerintah.
“Banyak warga miskin yang terpinggirkan karena data yang tidak akurat. Pemerintah sibuk membuat kategori, tapi lupa melihat manusianya,” ujarnya.
Rian menilai kebijakan desil seringkali menjadi pagar administratif yang justru menghalangi warga miskin untuk memperoleh hak bantuan sosial yang seharusnya mereka dapatkan.
“Kalau data keliru, kebijakannya pasti meleset. Warga yang paling rentan malah tidak tersentuh,” tegasnya.
Di tengah keluhan mengenai pendataan, organisasi masyarakat seperti AMS hadir membantu warga miskin yang luput dari perhatian negara. Rian menyebutkan, kegiatan pembagian sembako ini merupakan bagian dari Roadshow Milangkala AMS ke-59, hasil kolaborasi dengan Hidayah Berbagi Indonesia.
Pada usianya yang ke-63, Mak Emin tidak meminta banyak. Ia hanya ingin dua cucunya tidak kelaparan dan bisa tetap sekolah.
“Mak teu nyuhunkeun nanaon. Upami parantos aya perhatian sapertos kieu, Mak parantos bungah,” ujarnya dengan suara bergetar. (Rizky Zaenal Mutaqin)


















